12.02.2017

Desa Cipakem, Desa "Perantau" Di Lembah

Tidak jauh berbeda dengan desa desa di lereng dan lembah di Indonesia yang memiliki infrastruktur jalan yang buruk, untuk menuju desa Cipakem pun membutuhkan waktu hampir 2 jam “hanya” dengan jarak  20 km dari Pusat Kota.  Desa desa di Kabupaten Kuningan sekitar 30% adalah desa yang berada di lembah dan lereng, lebih tinggi dari perbandingan nasional sebesar 25,6%.  Hampir separuhnya desa-desa di posisi geografis dan topografis itu  adalah desa tertinggal dan sangat tertinggal.
               
Tidak beda dengan Desa Cipakem yang memiliki penduduk terbanyak di antara desa desa lain dan desa terluas di Kab. Kuningan. Desa tetangganya, desa Giriwaringin hanya memiliki  400 KK, sedangkan Cipakem dihuni oleh  2500 KK atau 7000 Jiwa.  Dan lebih penting desa ini berdiri sejak abad 18, persisnya ketika pulau jawa didominasi oleh Kerajaan Cirebon dan Mataram.

Ekonomi “Migran”
                Ketika kami keliling desa pada hari Minggu siang bersama Pak Rosyad (50 tahunan), sebuah sepeda motor keluaran terbaru ke arah kami. Penumpangnya suami istri dengan bawaan tas besar dan sekeranjang oleh-oleh. Ketika berpapasan dengan Pak Rosyad, motor itu berhenti dan bertegur sapa dengan bahasa sunda. Tidak lama mereka melaju kembali. 
                “ …baru pulang dari Jakarta…” jelas Pak Rosyad.
                “naik motor?” 
                “ ya…biasa mereka… jadi dua bulan sekali kan giliran untuk jaga warung,” kata Pak Rosyad, “ masih saudara saya, pak Wahab namanya dan tinggal di Giriwaringin, seberang sekolah SD…”
                Jangan terkejut jika hampir 80%  penduduk Desa Cipakem  bekerja di luar desa.  Pada umumnya mereka menjadi  pekerja “BRI”. Istilah itu sangat umum dan dikenal banyak kalangan. BRI adalah bubur kacang ijo, rokok dan indomie.
                Tidak mengejutkan ketika pergi ke kota kota seperti Jakarta, Yogyakarta, atau Bandung  kita menjumpai pedagang pedagang makanan bubur kacang ijo, pedagang rokok atau indomie adalah warga  Cipakem, Kuningan.  Perempuan berusia 35 tahunan bernama Nur, suaminya juga bekerja di Jakarta sebagai pedagang kacang ijo, rokok dan indomie.
                “….jualan sama tetangga, di Pasar Minggu, katanya,” ujar Bu Bur, “ setiap dua bulan sekali pulang kampung.”
                Suaminya pulang ke kampung membawa uang antara  dua juta sampai tiga juta, dan berarti sebulan bisa ditabung Rp 1 juta – Rp. 1,5 juta.
                Aliran uang ini setiap hari, atau setidak tidaknya setiap minggu, mengalir ke desa. Kita bisa hitung berapa dampak dari aliran uang itu ke desa.  Jika 80% dari KK pergi ke kota dengan penghasilan di atas maka dipastikan ada aliran uang sebesar  Rp. 2 milyar sampai dengan Rp 3 milyar perbulan.  Aliran uang ini yang oleh penduduk dijadikan bangunan rumah yang jauh dari sederhana dan sangat layak. Tidaklah mengherankan jika kita ke Cipakem banyak rumah rumah dengan bangunan tembok dan gaya “urban”.
                Tentu ini peluang.
                Di era pengakuan (recognisi dan subsidiaritas) atas “kewenangan desa” tentang desa saat ini, peluang ini harus dilihat oleh pemerintahan desa. Strategi pembangunan “endogen” dapat dilakukan oleh desa, dan tentu saja kapasitas untuk membangun perlu diperkuat dengan contoh contoh keberhasilan.***

Membangun Dengan Kesabaran, Manusia Nomor Satu

“Pujon Kidul dimana itu pak?”   begitu pertanyaan seorang staf   pemerintah   kabupaten ketika   Pak Udi mengajukan proposal untuk...