Tidak jauh berbeda dengan desa desa di lereng dan lembah
di Indonesia yang memiliki infrastruktur jalan yang buruk, untuk menuju desa
Cipakem pun membutuhkan waktu hampir 2 jam “hanya” dengan jarak 20 km dari Pusat Kota. Desa desa di Kabupaten Kuningan sekitar 30%
adalah desa yang berada di lembah dan lereng, lebih tinggi dari perbandingan
nasional sebesar 25,6%. Hampir
separuhnya desa-desa di posisi geografis dan topografis itu adalah desa tertinggal dan sangat tertinggal.
Tidak beda dengan Desa Cipakem yang memiliki penduduk terbanyak di antara desa desa lain dan desa terluas di Kab. Kuningan. Desa tetangganya, desa Giriwaringin hanya memiliki 400 KK, sedangkan Cipakem dihuni oleh 2500 KK atau 7000 Jiwa. Dan lebih penting desa ini berdiri sejak abad 18, persisnya ketika pulau jawa didominasi oleh Kerajaan Cirebon dan Mataram.
Ekonomi “Migran”
Ketika
kami keliling desa pada hari Minggu siang bersama Pak Rosyad (50 tahunan),
sebuah sepeda motor keluaran terbaru ke arah kami. Penumpangnya suami istri
dengan bawaan tas besar dan sekeranjang oleh-oleh. Ketika berpapasan dengan Pak
Rosyad, motor itu berhenti dan bertegur sapa dengan bahasa sunda. Tidak lama
mereka melaju kembali.
“
…baru pulang dari Jakarta…” jelas Pak Rosyad.
“naik
motor?”
“
ya…biasa mereka… jadi dua bulan sekali kan giliran untuk jaga warung,” kata Pak
Rosyad, “ masih saudara saya, pak Wahab namanya dan tinggal di Giriwaringin,
seberang sekolah SD…”
Jangan
terkejut jika hampir 80% penduduk Desa
Cipakem bekerja di luar desa. Pada umumnya mereka menjadi pekerja “BRI”. Istilah itu sangat umum dan
dikenal banyak kalangan. BRI adalah bubur kacang ijo, rokok dan indomie.
Tidak
mengejutkan ketika pergi ke kota kota seperti Jakarta, Yogyakarta, atau
Bandung kita menjumpai pedagang pedagang
makanan bubur kacang ijo, pedagang rokok atau indomie adalah warga Cipakem, Kuningan. Perempuan berusia 35 tahunan bernama Nur,
suaminya juga bekerja di Jakarta sebagai pedagang kacang ijo, rokok dan
indomie.
“….jualan
sama tetangga, di Pasar Minggu, katanya,” ujar Bu Bur, “ setiap dua bulan
sekali pulang kampung.”
Suaminya
pulang ke kampung membawa uang antara
dua juta sampai tiga juta, dan berarti sebulan bisa ditabung Rp 1 juta –
Rp. 1,5 juta.
Aliran
uang ini setiap hari, atau setidak tidaknya setiap minggu, mengalir ke desa.
Kita bisa hitung berapa dampak dari aliran uang itu ke desa. Jika 80% dari KK pergi ke kota dengan
penghasilan di atas maka dipastikan ada aliran uang sebesar Rp. 2 milyar sampai dengan Rp 3 milyar
perbulan. Aliran uang ini yang oleh
penduduk dijadikan bangunan rumah yang jauh dari sederhana dan sangat layak.
Tidaklah mengherankan jika kita ke Cipakem banyak rumah rumah dengan bangunan
tembok dan gaya “urban”.
Tentu
ini peluang.
Di
era pengakuan (recognisi dan subsidiaritas) atas “kewenangan desa” tentang desa
saat ini, peluang ini harus dilihat oleh pemerintahan desa. Strategi
pembangunan “endogen” dapat dilakukan oleh desa, dan tentu saja kapasitas untuk
membangun perlu diperkuat dengan contoh contoh keberhasilan.***