9.03.2018

Membangun Dengan Kesabaran, Manusia Nomor Satu





“Pujon Kidul dimana itu pak?”  begitu pertanyaan seorang staf  pemerintah  kabupaten ketika  Pak Udi mengajukan proposal untuk pemberdayan perempuan dan anak  sekitar delapan tahun yang lalu. “Padahal saya hanya mengajukan bantuan peralatan masak untuk ibu ibu…” kenangnya.
            Namun sejak tahun 2017 pertanyaan itu tenggelam begitu saja. Lelaki berusia kurang lebih 45 tahunan ini boleh berbangga hati. Tiada hari tanpa tamu, dari berbagai pelosok wilayah nusantara.
            Siapa yang tidak tahu Pujon Kidul saat ini?  Kendati harus menempuh sekitar 4 km dari jalan raya batu, malang, pengunjung tidak berkeberatan hati untuk menyusuri jalan masuk yang tidak begitu besar. Saat ini setiap hari, terlebih hari sabtu-minggu dan hari libur/besar, pengunjung berlimpah ruah.
            “Tetapi ini tidak mudah,”  jelas Pak Udi.  Perjalanan untuk mempromosikan Pujon Kidul tidaklah membalikan tangan begitu saja.  Perlu waktu yang panjang. Sejak tahun 2012 lelaki berlatar belakang Madrasah Aliyah dan mengawali karier sebagai Satpam hotel ini berpikir keras bagaimana desanya maju sejak terpilih menjadi kepala desa.  Kata kunci adalah sabar dan tekun.  Langkah pertama yang dilakukan adalah memberikan kesadaran kepada masyarakat. Keinginan masyarakat berbeda beda dan tidak jarang terjadi konflik antar warga.
            “Penyiapan masyarakat nomor satu. Membangun infrastrukur mudah, tapi membangun masyarakat agar berssatu itu yang sulit”, jelas Pak Udi sambil mengamati tamu tamu yang lalu lalang di kawasan wisata Pujon Kidul.  Cikal bakal wisata desa di daerah perbukitan yang sejuk ini sejak tahun 2012. “Jadi tidak instans pak”.

Pendopo Bambu
            Ketika memasuki kawasan Pujon Kidul terdapat bangunan yang cukup menonjol setelah melintas Gapura Bambu Bertuliskan Café Sawah. Itulah yang disebut dengan pendopo. Cikal bakal Kawasan Wisata Pujon Kidul bermula dari sini. Di Pendopo ini sekitar tujuh tahun lalu (2012)  Pak Udi mendirikan pendopo dari bambu dan kayu. Semula tempat pertemuan dan kumpul kumpul warga desa. Sejalan dengan waktu timbul gagasan untuk melengkapi dengan jajanan (makanan dan minuman). Pada tahun 2015 BNI memberikan bantuan CSR yang digunakan untuk membangun Pendopo beserta prasarana jalan wisata.
            Selain itu, seiring dengan kebijakan pemerintah terhadap desa, melalui dana desa, atas hasil musyawarah desa, dialokasikan dana desa sebesar Rp. 60 juta untuk prasarana sarana wisata pada tahun 2015, dan berturut turut dana desa tahun 2016 dan 2017 dikucurkan untuk semakin membangun daya tarik wisata Pujon Kidul. Alhasil, jika kita berjalan hampir 1,5 jam dari Malang ke Pujon Kidul, terbayar sudah perjalanan itu dengan alam yang sejuk dan sedap di pandang mata.
            Bagi mereka yang suka nongkrong cukup duduk duduk di Café Sawah atau saung saung yang ada di sekitar kawasan wisata. Kalau lebih menyukai jalan jalan cukup melangkahkan kaki mengikuti jalur yang ada. Untuk mereka yang ingin lebih tahu seluk beluk kehidupan desa, biasanya anak anak dan remaja, bisa saja dipandu untuk memetik buah, sayur mayur atau bahkan pemerahan susu sapi. Nah, tunggu apa lagi?  Ayo, kita ke sana. ***

12.02.2017

Desa Cipakem, Desa "Perantau" Di Lembah

Tidak jauh berbeda dengan desa desa di lereng dan lembah di Indonesia yang memiliki infrastruktur jalan yang buruk, untuk menuju desa Cipakem pun membutuhkan waktu hampir 2 jam “hanya” dengan jarak  20 km dari Pusat Kota.  Desa desa di Kabupaten Kuningan sekitar 30% adalah desa yang berada di lembah dan lereng, lebih tinggi dari perbandingan nasional sebesar 25,6%.  Hampir separuhnya desa-desa di posisi geografis dan topografis itu  adalah desa tertinggal dan sangat tertinggal.
               
Tidak beda dengan Desa Cipakem yang memiliki penduduk terbanyak di antara desa desa lain dan desa terluas di Kab. Kuningan. Desa tetangganya, desa Giriwaringin hanya memiliki  400 KK, sedangkan Cipakem dihuni oleh  2500 KK atau 7000 Jiwa.  Dan lebih penting desa ini berdiri sejak abad 18, persisnya ketika pulau jawa didominasi oleh Kerajaan Cirebon dan Mataram.

Ekonomi “Migran”
                Ketika kami keliling desa pada hari Minggu siang bersama Pak Rosyad (50 tahunan), sebuah sepeda motor keluaran terbaru ke arah kami. Penumpangnya suami istri dengan bawaan tas besar dan sekeranjang oleh-oleh. Ketika berpapasan dengan Pak Rosyad, motor itu berhenti dan bertegur sapa dengan bahasa sunda. Tidak lama mereka melaju kembali. 
                “ …baru pulang dari Jakarta…” jelas Pak Rosyad.
                “naik motor?” 
                “ ya…biasa mereka… jadi dua bulan sekali kan giliran untuk jaga warung,” kata Pak Rosyad, “ masih saudara saya, pak Wahab namanya dan tinggal di Giriwaringin, seberang sekolah SD…”
                Jangan terkejut jika hampir 80%  penduduk Desa Cipakem  bekerja di luar desa.  Pada umumnya mereka menjadi  pekerja “BRI”. Istilah itu sangat umum dan dikenal banyak kalangan. BRI adalah bubur kacang ijo, rokok dan indomie.
                Tidak mengejutkan ketika pergi ke kota kota seperti Jakarta, Yogyakarta, atau Bandung  kita menjumpai pedagang pedagang makanan bubur kacang ijo, pedagang rokok atau indomie adalah warga  Cipakem, Kuningan.  Perempuan berusia 35 tahunan bernama Nur, suaminya juga bekerja di Jakarta sebagai pedagang kacang ijo, rokok dan indomie.
                “….jualan sama tetangga, di Pasar Minggu, katanya,” ujar Bu Bur, “ setiap dua bulan sekali pulang kampung.”
                Suaminya pulang ke kampung membawa uang antara  dua juta sampai tiga juta, dan berarti sebulan bisa ditabung Rp 1 juta – Rp. 1,5 juta.
                Aliran uang ini setiap hari, atau setidak tidaknya setiap minggu, mengalir ke desa. Kita bisa hitung berapa dampak dari aliran uang itu ke desa.  Jika 80% dari KK pergi ke kota dengan penghasilan di atas maka dipastikan ada aliran uang sebesar  Rp. 2 milyar sampai dengan Rp 3 milyar perbulan.  Aliran uang ini yang oleh penduduk dijadikan bangunan rumah yang jauh dari sederhana dan sangat layak. Tidaklah mengherankan jika kita ke Cipakem banyak rumah rumah dengan bangunan tembok dan gaya “urban”.
                Tentu ini peluang.
                Di era pengakuan (recognisi dan subsidiaritas) atas “kewenangan desa” tentang desa saat ini, peluang ini harus dilihat oleh pemerintahan desa. Strategi pembangunan “endogen” dapat dilakukan oleh desa, dan tentu saja kapasitas untuk membangun perlu diperkuat dengan contoh contoh keberhasilan.***

11.23.2016

Bumi Rahayu, Desa “Transmigran” : Lepas Dari Ketertinggalan

Tidak jauh dari  pelabuhan  speed  Bulungan,  dengan waktu tempuh  +/-  setengah jam, setelah melintas Ibukota Tanjung Selor  dan  melewati  jembatan Sungai Kayan, terdapat gapura bertuliskan “Selamat Datang Di Desa Bumi Rahayu”.  Satu kilometer dari gapura  disebelah kiri berdiri area Kantor Desa Bumi Rahayu. Jalannya beraspal dan elektrifikasi sudah 100%.

“Saya heran, kenapa desa kami disebut desa tertinggal,”  ujar  Kepala Desa Bumi Rahayu. Keheranan ini yang membuat penasaran. Dari dimensi ekologi, desa Bumi Rahayu memang tidak mengalami pencemaran baik air, tanah dan udara. Juga tidak ada limbah sungai. Memasuki Desa Rahayu memang tertata dan banyak pepohonan di sepanjang jalan. Bahkan untuk urusan arena merokok, desa Bumi Rahayu membuat arenanya. Selain itu, desa ini tidak pernah mengalami bencana alam.  Dari dimensi ekologi memang Bumi Rahayu memiliki skor yang relatif tinggi. Sayangnya, upaya untuk waspada terhadap bencana belum  tersedia. Sebut saja tanda tanda titik kumpul atau jalur evakuasi yang belum ada. Atau informasi/komunikasi tradisional  seperti kentungan, tidak ada.  Tampaknya  langkah langkah ini yang belum dilakukan.

Bagaimana dengan dimensi  sosial?  Untuk akses ke prasarana pendidikan dasar dan menengah tersedia. Termasuk perpustakaan desa, dan  tempat ketrampilan yang ada di Gedung PKK. Baik  PAUD, TK, Posyandu, Poskedes dan Puskesmas Pembantu tersedia dan mudah diakses penduduk. Memang tidak jauh dari kantor desa terdapat bangunan megah berupa pendopo dan ruang posyandu. Di  arena terbuka itu kegiatan posyandu dilakukan. “Termasuk senam untuk ibu hamil,” ujar  salah satu staf Desa. Untuk dimensi ekonomi,  penduduk desa Bumi Rahayu memiliki banyak lapangan pekerjaan. Tidak saja rumah tangga melakukan kegiatan berkebun sayura mayur.  Penduduk desa banyak memiliki industri pembuatan batu bata.  “Inilah yang menggerakkan kegiatan ekonomi desa…”  jelas Pak Kades, “ Selain itu banyak penduduk yang juga beternak lele dan bebek.”

Sayang  kegiatan produksi itu belum diorganisir. Masih rencana melalui BUMDES, jelas Ketua BUMDES Bumi Rahayu. Juga kendati mesti bisa komunikasi dengan seluler, akses internet masih lemah. Jadi, ini mengapa BUMI RAHAYU masih pada posisi tertinggal. Sedikit saja tindakan, status desa akan meningkat berkembang dan bahkan maju.  Bergerak terus Bumi Rahayu !***

3.06.2016

Hak "Kali" untuk Ciliwung yang hilang

Sungai Ciliwung bukan tanpa kisah. Hingga sekarang Ciliwung dilihat sebagai "persoalan" khususnya bagi penduduk Jakarta. Setiap musim penghujan, penduduk Jakarta senantiasa dihantui oleh ancaman banjir. Bahkan ketika Jakarta tidak hujan.

2.09.2016

Desa Wisata, Apa Yang Akan Dilakukan?


























P
ariwisata telah menjadi sektor strategis dalam lima tahun ke depan (2015-2019). Kabinet Kerja memasang target 20 juta wisatawan mancanegara masuk ke Indonesia pada tahun 2019. Belum lama pemerintah memberikan prioritas terhadap 10 destinasi wisata (Danau Toba, Borobudur, Tanjung Lesung, Mandalika,  Wakatobi, Bangka Belitung, .... 

Membangun Dengan Kesabaran, Manusia Nomor Satu

“Pujon Kidul dimana itu pak?”   begitu pertanyaan seorang staf   pemerintah   kabupaten ketika   Pak Udi mengajukan proposal untuk...